Jumat, 05 Desember 2008
Trying to be ikhlas…..(00:38 171108)
Kata ini sering sekali diucapkan sebagai penyempurna perbuatan. Untuk mengesankan kalau kita bersungguh-sungguh secara lahir batin akan hal yang akan atau telah dilakukan. Seakan-akan kalau kita telah berjiwa seluas samudera dalam melakukan atau menerima hal-hal dalam hidup, yang tentunya ada hitam ada putih, ada baik atau buruk.
Baik atau buruk? Sebenernya kalau kita jabarkan lagi, semua hal yangterjadi di dunia, segalanya telah ditulis di lauful mahfuz jauh sebelum kita masuk tk, atau pacaran saat pertama kali. Semua hal telah ditetapkan, dan kita pasti akan menjalaninya cepat atau lambat ( urut sesuai dengan daftar yang telah ditulis).
Berarti, ikhlas disini merupakam sesuatu yang lebih dari sekedar kewajiban, tetapi hal yang harus menjadi kebiasaan dalam menghadapi apapun dalam hidup ini.
Namun, terkadang, ikhlas bertabrakan dengan keegoisan kita dalam usaha untuk “mengakuisisi” hidup ini. Kejadian yang telah diatur (bahkan untuk kebaikan kita,menurut doa-doa yang kita panjatkan untuk sesuatu yang khusus) jika berlawanan dengan kehendak diri,maka jiwa seketika akan terasa sempit, jauh lebih sempit ketika kita harus berdesakan antri tiket 21, bahkan terasa sesak melebihi sesak nya dada ketika berada dalam kepungan asap rokok.
Disaat kesuksesan berupa kesetaraan atau bahkan kelebihan hasil daripada pengharapan, secara otomatis seakan-akan kita dapat dengan ikhlas menerima ini semua. Padahal, sekali lagi, belum tentu kita juga ikhlas dalam menerima hasil yang super positif dalam hidup.
Terus, kapan dong ikhlasnya?
Ini ni, yang sekarang saya cari. Apakah rasa “datar” ketika menerima berita yang seharusnya saya tanggapin dengan emosional yang proporsional ?( yang sebelumnya selalu saya rasakan)
Atau mungkin “pelarian saya” yang lebih berhasil dari yang sebelum-sebelumya?
Terus, dimana dong ikhasnya?
Ketika seorang sahabat saya menanyakan,” ente ikhlas La?” jawabannya langsung lari ke perasaan hati yang datar, ditambah keidealisan diri yang ingin berusaha lebih baik setiap saatnya walau dengan “pemaksaan” karena merupakan keharusan, ditambah pemikiran kuat bahwa semua ini sudah diaturNya,saya jawab ”ya,insyaAllah !!”
Dalam hati,masih saya mempertanyakan, ini yang namanya ikhlas?, hal datar ini? ( apakah ikhlas itu merupakan perasaan yang datar sedatar lautan samudera dikala hening?)wallahualam…
Someone said to me..Jembarono ati seluas samudera,wis to, enak uripmu ( Legakan hatimu seluas samudera, pasti enak hidupmu)
MENDING PAKAI WASIT ASING
Hal pertama yang saya lakukan adalah membuka situs detik.com untuk mengetahui berita dan hasil2 sepakbola terkini. Dan, jagoan saya minggu ini semuanya mlempem. Juve kalah “bejo” dengan inter 1-0, MU yang memble seri 0-0 dengan Villa. Sekilas, muncul juga berita “lawas” tentang kegagalan timnas Indonesia di Mynmar’s Chalange di final oleh tuan rumah 2-1.Rasa kecewa saya lebih tinggi untuk kegagalan Juve dan MU di kompetisi regional masing2 dari pada timnas
Kalau boleh dirunut, saya mengikuti sepakbola sedari semenjak umur 6 tahun, ketika saya masih tinggal di Denpasar, ketika beberapa kali saya diajak Papa ke Stadion Ngurah Rai, menyaksikan laga-laga Gelora Dewata(Alm.),berati semenjak liga professional pertama, yang waktu itu masih bernama Liga Dunhill. Ikut juga menyaksikan Kurniawan cs. yang baru pulang dari Itali, tidak bisa lolos dari penyisihan grup pra-olimpiade Athena, kalah bersaing dengan
Dari sekitar hampir 20 tahunan mengikuti perkembangan persepakbolaan di Indonesia, keliatan hanya hasrat dan semangat menggebu saja dari PSSI dan komponen-komponennya untuk maju, persis seperti pahlawan bangsa yang bejuang pake bamboo runcing dan semangat. Sepertinya, dijaman sekarang ini, semangat saja jelas-jelas tidak cukup.
Nama boleh Super League, tapi yang lain-lain, jujur saja, masih sama sepeti gelaran Liga Dunhill alias liga
Kejadian-kejadian offside palsu ini msih sering terjadi setelah itu, bahkan sampai sekarang. WAduh, padahal dari tribun penonton saja sudah ketahuan, masa asisten wasit dipinggir lapangan bisa “aneh-aneh” keputusannya. Apalagi di televisi, sering sekali kta saksikan keputusan offside di lapangan sangat bertolak belakang setelah di cross check dengan tayang ulang di TV.
Sekarang, mesti harus tinggal jauh dari hombase kebanggaan Gelora 10 Nopember tempat the mighty Persebaya bersemayam, saya masih mengikuti secara langsung hingar bingar sepak bola Indonesia di Stadion PSIS Semarang, Jati Diri. Jadi, tidak hanya nonton TV, baca Koran dan situs di internet ( seperti kebanyakan para pemerhati sepakbola di tanah air). Dan, kualitas perangkat pertandingan, benar-benar parah!!!!sama seperti Liga
Jadi, percuma saja pemainnya bagus-bagus, kalau kualitas wasitnya parah. Saya menjadi saksi, ketika seorang Yoyok Sukawi “gagal” mendaratkan bogem mentahnya ke muka wasit Sujoko. Orang-orang langsung hujat
Memang, sekali lagi, wasit juga manusia, tapi di era profesionalisme, wasit juga harus memiliki kualitas yang super, demi kelancaran kompetisi, dan masa depan timnas, mengingat roda kompetisi adalah embrio dari kelahiran pemain-pemain berkualitas. Saya bukan pendukung PSIS
PSSI, dari pada buat kebijakan tiap klub boleh punya 5 pemain asing, yang jelas-jelas “mematikan” potensi lokal, gantilah dengan kebijakan 3 pemain asing aja. Dan ganti itu wasit lokal kacangan, dengan wasit import. Atau sekolahkanlah wasit-wasit ini, keluar negeri, dari pada menyekolahkan para pemain ke luar negeri yang terbukti selalu gagal total.
Mending pakai wasit import,mahal, tapi pertandingannya berkualitas, nyaman untuk ditonton…..