Jumat, 05 Desember 2008

MENDING PAKAI WASIT ASING

Pagi ini, seperti biasa saya bangun siang sekali. Mungkin karena tadi malem tidur larut, yang sebenarnya sudah saya paksakan mata dan badan ini untuk bisa lebih awal tidur. Tapi,mungkin badan dan mata ini sudah “terbiasa” dengan kegiatan membuat laporan TA yang memaksa saya untuk tidur larut sampai pagi, dan tentunya bangunnya pasti kesiangan. Jadwal kehidupan seperti memang harus direvisi secepat mungkin demi kelancaran hidup dan kesehatan tentunya.
Hal pertama yang saya lakukan adalah membuka situs detik.com untuk mengetahui berita dan hasil2 sepakbola terkini. Dan, jagoan saya minggu ini semuanya mlempem. Juve kalah “bejo” dengan inter 1-0, MU yang memble seri 0-0 dengan Villa. Sekilas, muncul juga berita “lawas” tentang kegagalan timnas Indonesia di Mynmar’s Chalange di final oleh tuan rumah 2-1.Rasa kecewa saya lebih tinggi untuk kegagalan Juve dan MU di kompetisi regional masing2 dari pada timnas Indonesia yang sudah sangat “terbiasa” sekali dengan kegagalan. PSSI, beserta seluruh kebijakan2nya menurut saya menjadi biang kerok kegagalan sepakbola Indonesia, baik di penyelenggaraan kompetisi dalam negeri apalagi prestasi di luar.

Kalau boleh dirunut, saya mengikuti sepakbola sedari semenjak umur 6 tahun, ketika saya masih tinggal di Denpasar, ketika beberapa kali saya diajak Papa ke Stadion Ngurah Rai, menyaksikan laga-laga Gelora Dewata(Alm.),berati semenjak liga professional pertama, yang waktu itu masih bernama Liga Dunhill. Ikut juga menyaksikan Kurniawan cs. yang baru pulang dari Itali, tidak bisa lolos dari penyisihan grup pra-olimpiade Athena, kalah bersaing dengan Korea yang dipimpin oleh Choi Yong Shu. Saya juga pernah menyaksikan pertandingan liga Swiss secara regular di stadion kebanggan FC.Sion, Le Tourbillon selama setahun, dan bahkan menghadiri pertandingan akbar Juve-Milan tahun 2002 di Delle Alpi Turin. Dan kualitas pertandingan, khususnya perangkat pertandingan, bagai tanah bumi dan langit Pluto ( jauhnya aja ngg kebayangkan???)

Dari sekitar hampir 20 tahunan mengikuti perkembangan persepakbolaan di Indonesia, keliatan hanya hasrat dan semangat menggebu saja dari PSSI dan komponen-komponennya untuk maju, persis seperti pahlawan bangsa yang bejuang pake bamboo runcing dan semangat. Sepertinya, dijaman sekarang ini, semangat saja jelas-jelas tidak cukup.

Nama boleh Super League, tapi yang lain-lain, jujur saja, masih sama sepeti gelaran Liga Dunhill alias liga Indonesia pertama. Bolehlah PSSI sekarang berkoar sudah bertindak gentle,berani dengan hukuman ini itu bahkan sampai seumur hidup sekalipun. Sayang, ketegasan ini hanya bisa menghukum pemain-pemain yang notabene berbuat “pidana di lapangan” juga atas “peran” serta PSSI secara tidak langsung di dalam aturan-aturan serta komponen Liga Super. Saya kira, dari dulu, dari Liga Indonesia 1 sampai Super League ini, bolehlah supporter sudah sangat jauh super kreatif, pemain-pemain asingnya pun juga makin top permainannya, tapi komponen perangkat pertandingan berupa wasit, waduh, parah sekali sudah hampir 20 tahun tapi jalan di tempat. Dulu, masih ingat saya ada assisten wasit di final Liga 1 namanya Zulkifli Chaniago, gol Jacksen Tiago yang nyata-nyata sah, divonis off side.

Kejadian-kejadian offside palsu ini msih sering terjadi setelah itu, bahkan sampai sekarang. WAduh, padahal dari tribun penonton saja sudah ketahuan, masa asisten wasit dipinggir lapangan bisa “aneh-aneh” keputusannya. Apalagi di televisi, sering sekali kta saksikan keputusan offside di lapangan sangat bertolak belakang setelah di cross check dengan tayang ulang di TV.

Sekarang, mesti harus tinggal jauh dari hombase kebanggaan Gelora 10 Nopember tempat the mighty Persebaya bersemayam, saya masih mengikuti secara langsung hingar bingar sepak bola Indonesia di Stadion PSIS Semarang, Jati Diri. Jadi, tidak hanya nonton TV, baca Koran dan situs di internet ( seperti kebanyakan para pemerhati sepakbola di tanah air). Dan, kualitas perangkat pertandingan, benar-benar parah!!!!sama seperti Liga Indonesia pertama.

Jadi, percuma saja pemainnya bagus-bagus, kalau kualitas wasitnya parah. Saya menjadi saksi, ketika seorang Yoyok Sukawi “gagal” mendaratkan bogem mentahnya ke muka wasit Sujoko. Orang-orang langsung hujat sana hujat sini, bilang si Yoyok menodai pertandinganlah. Tanpa bermaksud membela, wasit pada pertandingan itu memang parah sekali. OK, wasit juga manusia, kontroversial juga merupakan bumbu dari sepak bola yang terus dilestarikan oleh FIFA ( makanya ngg ada microchip di bola, dan alat batu sensor gol di bawah gawang di mentahkan FIFA). Tapi, kalau pada saat pertandingan ada 3-4 konroversial, apa ini wajar??hanya kebodohan wasit saja yang bisa membuatnya. Kejadian di Kediri musim lalu yang mengakibatkan kerusuhan, akibat parahnya Jajat Sudrajat dalam memimpin pertandingan. (kok bisa dia mimpin lagi ya sekarang??ck ck ck..).Jajat tergolong wasit “spektakuler”, yang mampu membuat 2 kota di Jawa Timur “bergelora”, setelah sebelumnya rusuh di Surabaya juga karena ketidak becusan dia jadi wasit. Lalu yang terakhir, kejadian di Bolaang Mongondow, juga dipicu wasit. PSSI, masa bukti udah berceceran di sana-sini, masih aja tinggal diem. Benahi itu wasit-wasit kacangan.

Memang, sekali lagi, wasit juga manusia, tapi di era profesionalisme, wasit juga harus memiliki kualitas yang super, demi kelancaran kompetisi, dan masa depan timnas, mengingat roda kompetisi adalah embrio dari kelahiran pemain-pemain berkualitas. Saya bukan pendukung PSIS Semarang, apalagi PSIR Rembang, saya adalah seorang bonek sejati. Tapi, sering sekali saya mengikuti pertandingan secara langsung di lapangan, dan hanya segelintir pertandingan yang saya tonton adalah pertandingan yang melibatkan Persebaya. Kebanyakan pertandingan yang saya saksikan adalah PSIS Semarang, di Jati Diri, dan saya sering dibuat geram, bahkan “hawane bener-bener pengen ngantem” wasit, hakim garis yang benar-benar “super stupid”. Kelasnya sama seperti wasit tarkam alias antar kampong atau antar RT yang biasa digelar menjelang Agustusan(kompetisi yang dulu sering saya ikuti sewaktu SMU,lumayan uang hadiahnya buat jajan).

PSSI, dari pada buat kebijakan tiap klub boleh punya 5 pemain asing, yang jelas-jelas “mematikan” potensi lokal, gantilah dengan kebijakan 3 pemain asing aja. Dan ganti itu wasit lokal kacangan, dengan wasit import. Atau sekolahkanlah wasit-wasit ini, keluar negeri, dari pada menyekolahkan para pemain ke luar negeri yang terbukti selalu gagal total.

Mending pakai wasit import,mahal, tapi pertandingannya berkualitas, nyaman untuk ditonton…..

Tidak ada komentar: